Kamis, 19 Januari 2012

Absurd

Dan lihatlah puntungpuntung rokok yang kusisakan pagi ini, apa tak cukup menggantikan bahasa kemalangan diri? Bergelut di antara kertaskertas blahshit murahan, yang dicoret dan dikembalikan tanpa ampun di setiap pertemuan. Berkubangan dalam tinta sialan.

Ha, puas bisa memenjarakan aku dalam kesalahan?

Akan kubalas dengan ratusan kertas dan tinta, tapi maaf, kali itu bukan seperti alurmu melainkan seperti jalan ceritaku.

Akan kukirimkan paketan senjata yang kau tumpulkan selama ini. Akan kubuktikan aku nyata. Kubuktikan otakku tak hanya berbicara rumusrumus kimia, tapi juga bahasa dunia yang merangkul semesta. Tidak hanya rumusrumus fisika apalagi biologi yang –sungguh– sama sekali tak kusuka.

Akan kukirimkan novelnovel cinta. Biar terbuka matamu. Biar mengerti hatimu. Bahwa aku pun tersiksa setelah hampir tiga belas bulan kita berkejaran laiknya si pencuri ayam.

Atau, mau kubuatkan film, –lengkap dengan adegan tangisan menyayat tanpa meterai penutupnya? Biar tahu kau betapa kecewanya aku ketika semangat yang kau berikan selama ini ternyata palsu.

Atau jendela tiaptiap rumah ingin kutempeli dengan gambargambar kepala, –lengkap dengan tali tergantung yang melingkari lehernya. Biar tahu kau betapa tak ada lagi niat mengecap manis, setelah pahit yang kau suapi kepadaku di meja penghakiman setahun yang lalu.

Dan, lihatlah sekali lagi puntungpuntung rokok di hadapanku pagi ini. Merekalah saksi bisu dari tiap rasa sakit yang terakumulasi menjadi satu. Dari rindu yang bereinkarnasi menjadi benci satusatu.

Tak cukupkah itu menghantarkan nilaiku untukku?

Jika tidak,
Sekalian saja kau bunuh aku kalau begitu.


                                                                                                                          Celahati, 19012012

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Aku Ingin Memeluk Hujan

Semalam aku berbincang dengan hujan
Tentang kerlingan musim semi yang diterbangkan
Angin memelukku dalam diam

Bahasa yang kupadupadankan dengan anggukan
Hanya didengar tanpa ada sahutan
Kupanggilpanggil hujan, berharap langkahnya bisa kuhentikan dengan satu kecupan
Alihalih pelukan, kerlingan hujan tak meretas barang senampan

Hujan bilang cukuplah nadanada gerimis menyampir telinga
Toh tak mungkin pula bisa menyapa

Jika pohon saja tak dapat bicara
Dan rumput bersendawa tanpa dirinya
Lalu hujan untuk apa?

Terlalu lebar sungai telah dibuatnya
Tak mungkin –tak-untuk– diseberangi
Lalu hujan untuk apa?

Aku terisak di antara hujan
Memohonmohon untuk kesabaran tak bertuan
Memaki diri sendiri yang tetap bertahan
Bukankah segalanya bisa diperjuangkan?

Bahkan kemarau pun diamdiam mengagumi hujan dalam keangkuhan

Hujan terkesima,
Sejenak berbalik menatap ronarona
Ada gelap di sana
Ada rongga yang hidup namun mati

Hujan berbalik lagi
Mengepalkan tangan untuk berganti diri
Tertatih hujan pergi
Bersama ringkih yang bersembunyi di balik hati

#
Aku,

Api yang ingin memeluk hujan

Meski pelukan kami

Membuatku

Perlahan


Mati



                                                                                                            Celahati, 19012012

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Senin, 09 Januari 2012

Surat Mengaduh yang (Tak Boleh) Gaduh

Ibuku sayang,
Bila nanti Engkau mengunjungiku lagi, tak usah terlalu banyak menyuguhiku nasi
Bahkan gigitan pisang terakhir pun, tak yakin ku kan bersisa sepeninggal Ibu pergi
Tak mereka ijinkan kami menambunkan badan di sini, Bu
Muntahan itu pasti, setelah hadiah bergulingguling melintangi diri itu kami dapati

Entahlah, apa jadinya jika tak pandai ku lebarlebarkan mata ini
Ayam belum menyanyi pun kami telah berlari, Bu
Matahari masih malu, hingga senja muda dan bulan di ujung dada, kami masih berlari

Deruman senjata itu sudah biasa bagiku, Bu
Merayap dengan gaya cicak kasmaran, hingga bercumbu dengan sejumput makian
Belum lagi menggerayangi papan pesakitan
Bah, obat encok yang Bapak minum tiga kali sehari pun kalah pahit, Bu

Tapi letih ini belum seberapa

Semalam si Ujang merelakan nafasnya direnggut malam
Setelah diamdiam dibisikkannya padaku di ujung ranjang
Keputusaasaan hati berjibaku dengan si Komandan
Ah, belum tiba di medan perang, si Ujang sudah lelap di ujung kelam

Belum lagi si Maman, Bu
Kening mengernyit dengan mata menyipit
Dokter bilang otaknya geser, atau tepatnya geger
Sungguh menciutkan nyali, kala timbul keinginan melintasi batas kasat mata si Atasan, Bu

Kadang terpikir untuk melarikan diri saja
Tapi apa bedanya pergi jika ujungujungnya ditodongkan senjata untuk mengabdi lagi?
Kontrak mati ini mauku kan, Bu?

Andai surat ini berani kuselipkan di balik genggaman tanganmu
Puas hatiku berbagi, tapi Engkau pasti terlukai

Jadi, biarlah kusimpan surat ini lagi, Bu
Semoga Engkau mengerti
Tak usahlah terlalu mengkhawatirkanku

Setidaknya, aku tak ingin seperti si Ujang dan si Maman
Anakmu ini ingin mereguk dulu rasanya perang
Walau barang semalam...


###
Terinspirasi setelah mengunjungi seorang teman yang sedang menempuh pendidikan militer, di suatu tempat, di suatu waktu.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Rabu, 04 Januari 2012

I'm sorry

               Berhentilah memantik.                 Jika menyala, kita terbakar -lagi.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO