Ibuku sayang,
Bila nanti Engkau mengunjungiku lagi, tak usah terlalu banyak menyuguhiku nasi
Bahkan gigitan pisang terakhir pun, tak yakin ku kan bersisa sepeninggal Ibu pergi
Tak mereka ijinkan kami menambunkan badan di sini, Bu
Muntahan itu pasti, setelah hadiah bergulingguling melintangi diri itu kami dapati
Entahlah, apa jadinya jika tak pandai ku lebarlebarkan mata ini
Ayam belum menyanyi pun kami telah berlari, Bu
Matahari masih malu, hingga senja muda dan bulan di ujung dada, kami masih berlari
Deruman senjata itu sudah biasa bagiku, Bu
Merayap dengan gaya cicak kasmaran, hingga bercumbu dengan sejumput makian
Belum lagi menggerayangi papan pesakitan
Bah, obat encok yang Bapak minum tiga kali sehari pun kalah pahit, Bu
Tapi letih ini belum seberapa
Semalam si Ujang merelakan nafasnya direnggut malam
Setelah diamdiam dibisikkannya padaku di ujung ranjang
Keputusaasaan hati berjibaku dengan si Komandan
Ah, belum tiba di medan perang, si Ujang sudah lelap di ujung kelam
Belum lagi si Maman, Bu
Kening mengernyit dengan mata menyipit
Dokter bilang otaknya geser, atau tepatnya geger
Sungguh menciutkan nyali, kala timbul keinginan melintasi batas kasat mata si Atasan, Bu
Kadang terpikir untuk melarikan diri saja
Tapi apa bedanya pergi jika ujungujungnya ditodongkan senjata untuk mengabdi lagi?
Kontrak mati ini mauku kan, Bu?
Andai surat ini berani kuselipkan di balik genggaman tanganmu
Puas hatiku berbagi, tapi Engkau pasti terlukai
Jadi, biarlah kusimpan surat ini lagi, Bu
Semoga Engkau mengerti
Tak usahlah terlalu mengkhawatirkanku
Setidaknya, aku tak ingin seperti si Ujang dan si Maman
Anakmu ini ingin mereguk dulu rasanya perang
Walau barang semalam...
###
Terinspirasi setelah mengunjungi seorang teman yang sedang menempuh pendidikan militer, di suatu tempat, di suatu waktu.
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
Senin, 09 Januari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar