Aku pernah takut mati.
Oktober 2009, lebih setahun yang lalu. Saat aku terbaring kritis di rumah putih, ruang Mawar II.
Saat itu trombositku hanya 50 ribu, angka yang sangat rendah dari angka normalnya. Pandanganku mengabur, berbicarapun sudah sangat sulit rasanya. Satu-satunya yang membuatku nyaman adalah memejamkan mata.
Tiba-tiba kurasakan ada seseorang yang memanggilku untuk pergi mengikutinya. Orang itu menarikku dan mengatakan bahwa aku harus ikut ke tempatnya. Aku memberontak. Aku takut sekali. Sekuat tenaga kulepaskan tangannya, hingga akhirnya cengkeramannya terlepas dan aku berlari sekencang mungkin menjauh darinya.
Ternyata itu hanya mimpi. Kala itu, sekitar pukul 02.00 dini hari.
Kutoleh mamah yang tertidur pulas di kursi. Ingin rasanya menceritakan apa yang baru kualami, tapi tak tega rasanya membangunkan beliau yang terlihat kelelahan setelah merawatku hingga 7 hari ini.
Aku terdiam, merenungi mimpiku. Sayu kupandangi dinding kamar tempatku dirawat. Aneh. Rasa-rasanya dinding ini putih, tapi mengapa malam ini samar-samar aku melihat begitu banyak wajah terpampang di sana? Tak satupun kukenali, namun mereka seolah-olah memandangiku dengan tatapan yang sulit kumaknai.
Aku mulai berpikir bahwa ini adalah tanda-tanda akhir dariNya untukku. Aku mulai menangis, terisak namun tak bersuara karena takut ketahuan mamah.
Kucoba memejamkan mata sekali lagi. Namun pikiranku kembali berkecamuk, menyuarakan ketakutan-ketakutan yang tak bertepi.
Aku takut melepas semua yang kumiliki. Aku takut kehilangan orang-orang yang kusayangi. Aku takut di sana nanti tanpa didampingi seorangpun yang kukenali sebelumnya. Aku takut menghadapi ini sendirian. Aku takut sekali.
Hingga akhirnya aku mencoba membuat penawaran dengan Tuhan. Kukatakan jangan mengambilku sebelum aku menginjakkan kaki di tanah Papua. Hal ini tiba-tiba saja terbersit dalam pikiranku, karena hanya pulau itu yang belum kudatangi dari 5 pulau besar di Indonesia.
Egois memang. Namun setelah mengajukan permohonan ini aku baru bisa tertidur lagi. Pasrah.
Esoknya kondisiku membaik, dan 3 hari kemudian aku dinyatakan dokter cukup pulih dan boleh dirawat di rumah.
***
Nopember 2009 ada acara yang membawaku ke Jogjakarta. Kusempatkan mengunjungi Candi Borobudur. Konon katanya apabila kita menjulurkan tangan untuk meraih Stupa di sana dan berhasil menyentuhnya, umur kita masih panjang dan cita-cita yang kita inginkan akan tercapai.
Kucoba saja, yah setengah percaya setengah tidak.
Ternyata aku tak bisa meraihnya, tidak seperti teman-temanku yang lain. Meskipun tak percaya sepenuhnya akan mitos ini, namun hasilnya membuatku kembali tercenung. Benarkah tak lama lagi?
***

Mei 2010 Tuhan mengantarkanku ke tanah Papua melalui sebuah kegiatan. Sukacita luarbiasa ketika pertama kali kujejakkan kaki ini di tanah Denias. Namun tentu saja aku tak melupakan deal-dealan yang kusepakati secara sepihak dengan Tuhan saat aku terbaring di rumah putih.
Aku mulai ketakutan lagi. Kapan..? Kapan waktunya aku harus membayarnya, Tuhan? Tanyaku khawatir dalam hati...
***
31 Desember 2010. Aku berkumpul dengan teman-teman Mapala Graminea di lapangan bola untuk melewati malam pergantian tahun.
Setelah hampir satu jam merasakan tahun 2011, kulirik jam sudah pukul 00.55 WITA, sama dengan pukul 23.55 WIB di tahun 2010 di tanah kelahiranku.
Sengaja aku menjauh sedikit dari teman-teman untuk mencari tempat yang agak sepi. Kebiasaan mengawali tahun baru dengan berdoa bersama membuatku mengambil handphone untuk menghubungi sanak family yang ada di kampung halaman. Tahun ini hanya aku yang tak bisa pulang karena harus mengejar menyelesaikan penelitian S1 ku di tanah orang. Tapi tak menjadi soal karena kami telah berjanji untuk berdoa bersama, meskipun aku hanya mendengarkan dari telepon.
Suara tawa dan canda mereka di telepon sempat membuatku menyesal tak menyempatkan diri untuk pulang sebentar. Namun itu tak berlangsung lama, karena kami semua telah siap untuk berdoa bersama.
Kujepit handphone di telinga kiri, sementara kedua tanganku kusatukan di depan dada. Baru saja untaian doa dimulai, tiba-tiba saja handphoneku melorot dan jatuh terempas ke tanah dengan kerasnya. Mati pula handphoneku.
Dengan terburu-buru kunyalakan dan kucoba menghubungi mereka lagi. Sh*t!! Tidak bisa dihubungi. Kucoba dan kucoba lagi. Tetap tidak bisa.
Kucari nomor lain yang mereka miliki.
"Halo.. Ini lagi berdoa, May.” Ternyata mamah yang angkat teleponku.

Saat aku ingin berkata-kata lagi tiba-tiba tut...tut...tut... Telepon terputus.
Aku bengong.
Aku kaget.
Aku shock.
Kenapa begini?
Bukannya kami telah berjanji berdoa bersama.
Kenapa jadi begini?
Bola-bola kristal tak bisa kubendung lagi.
Kurasakan lututku menjadi lemah, tak mampu berdiri lagi. Aku duduk di tanah, lalu memejamkan mata dan mulai berdoa. Kutanyakan pada Tuhan apa maksud semua ini. Aku benar-benar merasa sendiri. Aku merasa ditinggalkan, atau mungkin tak sengaja tertinggal?

Tak berapa lama setelah selesai berdoa, kudapati sms dari kakakku yang minta ditelepon lagi.
Dia bilang, tadi mungkin karena gangguan sinyal. Tapi mereka sudah mendoakanku, jadi aku tak perlu khawatir.
Susah payah kuatur nafas agar tak ketahuan sedang menangis. Kukatakan tak apa-apa, aku
baik-baik saja.
Padahal aku bohong.
Aku bohong..
***
Hingga saat aku menuliskan kisah ini, aku masih menangis. Entah kenapa rasanya hal ini begitu mengganggu pikiranku.
***
Kalau memang sesuatu yang kurasakan tadi malam adalah sebuah pertanda, maka inilah masa terakhirku untuk melangkahkan raga...

Jalani saja.
***
Bernyanyilah denganku hari ini, karena mungkin saja esok Ia akan memanggilku kembali padaNya.
***
###
Tulisan ini juga ada
disini dan
disini
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO