Siang ini, telingaku penuh. Penuh dengan “kultum” dari mamah tersayang. Ah padahal sudah susah payah aku berusaha agar terlihat stronger di depan beliau, tapi ujung-ujungnya ketahuan juga. Si sakit yang seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum itu datang lagi tanpa permisi. Padahal kami sedang makan bersama, padahal kami sedang menyantap lauk yang tak ternyana nikmatnya, namun entah angin mana yang membawa rasa sakit itu datang kembali. Ya, beberapa hari ini frekuensi datangnya rasa sakit itu memang lebih sering daripada biasanya.
Awalnya masih bisa kuatasi dengan sedikit mengelus-ngelus bagian yang sakit, kututupi dengan senyum dan diselingi tawa saat ada bagian obrolan kami yang mulai menggelitik rasa (hey, don’t try it at home, ngobrol saat makan bukanlah kebiasaan yang baik).
Kemudian pada bagian puncaknya aku sudah ga tahan lagi. Sakit yang amat sangat itu mulai menjalar-jalar kian kemari (umpannya lebar itu yang dicari, ini dianya yang terbelakang. Halaah... *abaikan). Tanpa sadar aku mengernyitkan kening sedemikian rupa sambil memegangi bagian yang sakit itu. Refleks kuhentikan suapan makanan ke mulut, mamah juga. Kemudian seperti yang sudah kuperkirakan, rentetan pertanyaan itu pun dimulai. Kamu kenapa? Sakitnya kambuh lagi ya? Masih kuat ga? Perlu ke RS sekarang? dst..
Aku berusaha menenangkan mamah, dengan ya lagi-lagi, bersikap stronger di depan beliau. Aku bilang tadi memang sakit, tapi sekarang sudah hilang sakitnya. Padahal...ya ga mungkin secepat itu lah..
Mamah kemudian melanjutkan makan, meski kudapati wajahnya masih menyiratkan kekhawatiran. Obrolan yang sebelumnya begitu hangat pun diterbangkan angin entah kemana. Malah digantikan dengan wejangan-wejangan bak ibu menasehati anaknya yang masih duduk di bangku es-de. (Padahal kami masih di meja makan lho..)
“Kemarin kenapa tiba-tiba aktif main basket lagi? Lupa atau pura-pura lupa kalau g*n**lnya masih luka? Nak, bayangin deh ada balon yang harusnya di dalamnya cuma ada udara, trus ada satu balon yang di dalamnya tiba-tiba ada beberapa kelereng. Kalau balon yang terakhir itu kita gerak-gerakin, kita goyang-goyang terus menerus, kulit balon jadinya bersentuhan sama kelereng & jadi lecet kan? Luka kan? Ga kasian tuh sama balonnya?”
“Kasian, Mah...”
“Kalau kasian harusnya gimana dong, Nak?”
“Ya berenti digerak-gerakin, Mah.”
“Kalau kasian harusnya gimana dong, Nak?”
“Ya berenti digerak-gerakin, Mah.”
“Pinter. Jadi kamu juga harusnya ga main loncat sana sini lagi kan, Nak?”
“Bukan loncat-loncatan, namanya main basket, Mah.”
“Bukan loncat-loncatan, namanya main basket, Mah.”
“Yayaya, jadi mulai sekarang ga usah main basket lagi ya, Nak?”
“............”
“Nak, mamah bukannya melarang kamu senang-senang, tapi mestinya ingat juga dong sama kondisi sekarang. Siapa lagi coba yang ngejaga diri sendiri selain diri sendiri juga. Sampai manapun usaha mamah, kakak-kakakmu dan yang lainnya untuk jagain kamu, ya ga ngaruh juga kalau kamunya sendiri ga mau ikut andil ngejaga kesehatan. Nanti boleh deh main basket lagi, tapi bukan sekarang.”
“Kapan, Mah?”
“Kapan, Mah?”
“Hmm...nanti, kalau balonmu benar-benar sudah bisa dibawa loncat-loncatan lagi. Ya...?”
“.................................................”
“.................................................”
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 comments:
Posting Komentar