Jumat, 25 November 2011

Ke-tidak-adil-an Adil

Empat hari menjelang pertemuan musuh bebuyutan itu, Adil tak merasakan apa-apa, biasa saja, masih bisa melewati masa dengan hari yang berpelangi tawa dan rasa.

Satu hari sebelum pertarungan musuh bebuyutan itu, hanya sesekali sekelebat bayang keraguan menghampiri dirinya. Tapi itupun tak apa baginya.

Tiga jam sebelum titik temu itu, Adil merasakan kejanggalan pada irama detak jantungnya, yang jauh lebih cepat dari biasanya.

Tiga jam sebelum titik temu itu, Adil semakin sering menyeka dahi dan lehernya, yang kian lengket karena aliran keringat dinginnya -padahal kipas angin sudah benar-benar tertuju padanya-.

Tiga jam sebelum titik temu itu, Adil merasa suhu tubuhnya meningkat pesat, namun berbanding terbalik dengan permukaan tangannya yang pucat pasi, seperti baru keluar dari freezer selama berjam-jam.

Tiga jam sebelum titik temu itu, Adil merasakan pelupuk matanya yang kian menghangat dan perlahan mulai mengeluarkan cadangan airnya.

Tiga jam sebelum titik temu itu, Adil merasakan sesuatu yang amat dikenalinya: perasaan takut kalah, seperti kejadian setahun yang lalu, yang mengantarkannya pada detik-detik penyesalan mendalam akibat ketidakmampuannya menyelamatkan gelar jawara tim basket, yang tiga tahun berturut-turut sebelumnya telah direngkuh oleh timnya.

Dua jam sebelum titik temu itu, semuanya masih sama seperti keadaan sejam sebelumnya.

Satu jam sebelum titik temu itu, semuanya masih sama seperti keadaan sejam sebelumnya. Yang berbeda adalah cadangan air dari pelupuk mata itu semakin membanjiri pipinya yang tembem, seperti air hujan yang menetes deras di atas buah apel ranum.

Dan saat akhirnya titik temu itu menghampirinya, Adil berusaha menebar senyum seperti biasanya, namun masih dalam keadaan emosi yang sulit dikuasainya.

Dan baru di kwarter kedua dari titik temu itu, Adil merasakan nyeri yang luar biasa lagi di bagian dada kirinya, tepat di daerah benda yang memberikan degupan kehidupan baginya itu. Rasanya nyeri seperti ditusuk puluhan jarum dan rasa panas yang membakar dari dalam, meski tanpa ada api yang menyembul keluar dari bagian itu.

Adil mahfum.
Ini biasa dan sering terjadi, pikirnya.

Tapi sesungguhnya Adil marah pada dirinya sendiri.
Marah karena belum juga berhasil bisa mengontrol rasa-rasa itu di tubuhnya.

Ini tak adil, batinnya.

Ini tak adil.

Tak adil

Sungguh,

tak adil.


Dan kekalahan yang dipeluknya dari titik temu kali ini (lagi), menambah daftar ke-tidak-adil-an dalam pikirannya hingga saat ini.

Ke-tidak-adil-an yang sungguh, Adil.









Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 comments: