MAPALA. Sebenarnya topik ini mungkin sudah sering diperdebatkan. Banyak kalangan yang memberi nilai minus bin negatif ke organisasi yang satu ini. Kalau ada mahasiswa yang bermasalah di kampus, misalnya sering bolos kuliah, sering engga ngerjain tugas, dapat nilai rendah pas ujian, atau hanya melihat dari tampilan fisiknya yang rada nyeleneh, pasti ditanya: “ikut mapala ya?”
Beruntung kalau jawabannya engga, kalau jawabannya iya, alhasil si Induk Semang yang ga mungkin bisa protes itu akhirnya jadi tumpuan dipersalahkan oleh mereka yang memegang teguh idealisme “mahasiswa manut”. Apa salah si Induk Semang hingga Anak-anaknya diblack list seperti ini?
Aku sebenarnya juga malas nulis tentang ini. Toh, meskipun tak ku tulis pun, tetap ada pihak yang berpikir seperti aku (meskipun hanya sebagian kecil). Toh, meskipun ku tulis pun, opiniopini “miring” itu tetap akan ada dari generasi ke generasi. Hanya saja malam ini naluriku terusik karena baru saja aku didera (tepatnya dicecar) beberapa pertanyaan dari adik tingkatku: “kak, emang betul ya kalau ikut mapala itu lulusnya selalu lama?”
Arghhh...
Aku ingin menjelaskan semuanya sambil berteriak, agar ia (dan siapapun yang mendengarnya tadi) secepatnya mengerti. Namun kutahantahan nafsu pembelaan diriku. Seraya tersenyum kujelaskan padanya betapa sebenarnya kekuatan diri sendiri dalam menentukan pilihanlah yang menjadi ujung tombak segala laku di bumi ini.
Ah, mungkin bahasaku terlalu rumit. Begini maksudku, ikut atau tidaknya seorang mahasiswa dalam sebuah organisasi, tidak bisa dijadikan batasan mutlak untuk masa studinya.
Tak sedikit boneka kampus (maaf, ini hanya bahasa pribadiku untuk mereka yang berkacamatakuda), yang serius atau fokus untuk kuliah saja namun mengalami kendala dalam menyelesaikan studinya. Walaupun kuakui, mereka yang menduakan studinya untuk kegiatan-kegiatan ekstra, menempati persentase kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan golongan pertama yang kusebutkan tadi.
Mapala itu hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak organisasi kemahasiswaan di kampus. Organisasi mulia (menurutku) yang telah banyak mencetak kader-kader pilihan. Kemampuan matematis yang diwahyukan (hahaha) di bangku kuliah, diseimbangkan dengan kemampuan logis dan analistis mapala melewati rentetan tahapan yang harus dilalui anggota-anggotanya. Sebut saja latdas sebagai garba masuknya, kemudian dilanjutkan dengan lantap, ekspedisi, kepanitiaan, kepengurusan organisasi, dan seterusnya.
Tak semua yang memulai mampu untuk mengakhiri. Mereka yang terkulai lemas di tengah ujian, biasanya memilih untuk mundur. Namun label anggota mapala itu hanya akan dianugerahkan kepada mereka yang setia hingga akhir. Tak tanggung-tanggung, anggota seumur hidup!
Anggota mapala ditempa untuk lebih menghargai alam, ditempa untuk mampu survive dalam keadaan genting sekalipun, ditempa untuk mampu berpikir logis sekaligus kritis dalam menghadapi beragam persoalan.
Jelas sudah betapa agungnya tujuan organisasi yang satu ini. Atau mungkin aku terlalu berlebihan dan terlalu memujamuja organisasi yang kuikuti sejak 4 tahun silam ini? Tapi coba kita tengok satu persatu mereka yang telah menjadi alumni kampus sekaligus “purna” mapala. Adakah yang tak berhasil? Naif jika jawabannya tidak ada. Namun kali ini aku berani bertaruh persentasenya lebih rendah ketimbang golongan boneka yang kusebutkan di awal tadi -tentu saja aku berharap masuk deretan mereka yang berhasil- (hahaha).
Aku mungkin terlalu melebarkan topik. Baiklah, kita kembali saja ke topik utamanya. Stereotype yang berkembang saat ini, jika ikut mapala maka lumrahlah sudah masa studinya lebih lama dibanding mahasiswa lainnya. Kegiatan-kegiatan mapala yang rutin dilaksanakan, menurut beberapa pihak menjadi alasan utama keterlambatan kelulusan seseorang.
Tidak benar. Kutegaskan sekali lagi, TIDAK BENAR.
Jangan pernah mengkambinghitamkan hal lain untuk kesalahan diri sendiri. Jangan pernah mencari pembelaan yang benar untuk sesuatu yang salah.
Hati dan pikiran si pelakulah yang menentukan kelulusannya. Dalam bahasa sederhananya: Lu mau lulus cepat kek, lambat kek, itu urusan hati lu, pilihan lu sendiri!
Porsi kegiatan dalam ke-mapala-an memang lebih banyak, namun ini justru semakin menempa anggotanya agar mampu memanajemen waktu sebaik mungkin. Tak pernah si Induk Semang (aku suka dengan sebutan ini), mengajukan permintaan berlebihan agar Anak-anaknya menyerahkan seluruh waktu untuknya. Tak pernah sekalipun.
Si Mahasiswa lah yang harus berjibaku dengan pilihan-pilihan hidupnya, serius atau santai, cepat atau lambat, ya atau tidak.
Aku bagian dari mapala di kampusku. Aku juga bagian dari mereka yang ‘tertunda’ kelulusannya. Namun tak pernah sekalipun kupersalahkan Induk Semangku.

Kalau mampu dan mau, kenapa tidak anggota mapala lulus cepat? Namun...ah...lagilagi ini persoalan pilihan. Tak seorangpun dari orang lain yang mengerti seutuhnya dirimu selain dirimu sendiri. Sekali lagi, tak ada pengaruhnya keikutsertaan dalam mapala dengan kelulusanmu. Pilihan itu ada di tanganmu, kawan.
Kalau tak percaya, coba saja sendiri.
(Setelah itu datangi aku lagi untuk menceritakan hasil dari pilihanmu itu)
Celahati, 23 Agustus 2011
###
Tulisan ini juga ada disini dan disini
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
4 comments:
lestari juga...
lestari..
Apa yg dilestarikan, Nto?
Hahaha..
Salam lestari juga.
Rimbas :)
Absolutely agree
Ga ada yang mempengaruhi jejak akademis seorang mahasiswa kecuali dirinya sendiri, bukan kepanitiaan, organisasi, keluarga, dll
Mahasiswa2 di korea terbiasa untuk cuti di masa kuliahnya untuk 'melihat dunia' mereka berpetualang mencari pengalaman di berbagai belahan bumi, terbiasa menunda kelulusan demi kebijaksanaan di masa depan
Di negeri ini, hal seperti itu biasanya mengundang banyak cibiran
Jangan peduli apa kata orang
:)
-A. Taruna
Posting Komentar